Jumat, 26 Oktober 2012

MAKALAH FILSAFAT & LOGIKA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter, bidan dan tenaga medis lainnya yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.


1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Malpraktek?
2.      Profesi Malpraktek
3.      Jenis – jenis Malpraktek
4.      Tanggung Gugat Malpraktek
5.      Upaya pencegahan Malpraktek


1.3 tujuan
1.      Menjelaskan pengertian malpraktek
2.      Menjelaskan jenis – jenis malpraktek berdasarkan hukum
3.      Menjelaskan cara pembuktian malpraktek
4.      Memahami upaya pencegahan malpraktek



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

B.   Profesi
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan atau dokter berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan dokter berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakanyuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).




C.   Jenis – jenis Malpraktek
untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni :
1.      Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpracticemanakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a)      Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan    perbuatan tercela.
b)      Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

a.       Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
b.      Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
c.       Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.      Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.       Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.        Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.


3.      Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpracticemanakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

D.   Pembuktian Malpraktek dibidang pelayanan kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
      Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. 

c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
     
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung
      Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

E.   Tanggung Gugat Malpraktek
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
            Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
            Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
            Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).


F.    Upaya Pencegahan Malpraktek

1.      Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan ahli kesehatan lainnya karena adanya mal praktek diharapkan para dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
  1. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
  2. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
  3. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
  4. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
  5. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
  6. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2.      Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya.

Apabila tuduhan kepada bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya apat melakukan :

a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.



Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban(dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan,dokter dan ahli kesehatan lainnya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus yang telah disebutkan dantelah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan tersebut hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh bidan tersebut telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.


Saran
Seorang Bidan atau Dokter atau hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme sebagai seorang tenaga kesehatan. Dalam arti harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang kronologis peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya akan menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga akan merugikan nama baik sebagai seorang bidan atau dokter serta hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Karena dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya adalah sebagai pelaku utama dalam kasus ini, maka harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya peristiwa.



DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.